Nabi Muhammad saw. bersabda : “.. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsat, ( yang baru ) karena sesungguhnya semua muhdatsat itu bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka“.
Hadist di atas kalau tidak dipahami secara benar akan menimbulkan kebingungan. Dalam kehidupan kita sehari-hari dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari marmer, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua merupakan hal yang baru yang tidak pernah ada di jaman Nabi Muhammad saw. Apakah kita sesat ? kita semua masuk Neraka ???
Banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar, sehingga tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan.Tulisan berikut ini dimaksudkan untuk meluruskan pemahaman tentang bid’ah , diharapkan tidak terjadi lagi salah pemahaman terhadap bid’ah….
Bid’ah secara bahasa ( etimologis ) mengandung arti : sebuah perkara baru yang diadakan atau diciptakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.
Menurut Imam Syafi’i bid’ah terbagi dua macam, yaitu bid’ah hasanah ( baik ) dan bid’ah sayyi’ah (buruk ) Hal baru yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunah, Atsar maupun Ijma, inilah bid’ah yang sesat. Segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunah, Atsar maupun Ijma. Hal baru ini merupakan bid’ah yang tidak tercela.
Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Berhubungan dengan banyak hal dalam agama Islam . Dalam memahami Hadist di atas diperlukan penafsiran. Sesungguhnya tidak semua ayat Al Qur’an atau Hadist dapat diartikan secara langsung sesuai dengan makna lahiriahnya atau teks yang tertulis. Dalam Hadist tersebut Rasulullah saw. tidak menjelaskan hal baru apa yang sesat, beliau menyatakan semuanya sesat. Sehingga jika Hadist tersebut dipahami secara langsung dan tidak ditafsirkan, semua hal baru dalam permasalahan dunia maupun agama adalah sesat dan pelakunya masuk Neraka.
Dalam Hadist di atas Rasulullah saw. menyatakan bahwa :” kullu bid’atin dholalatun “ yang jika diterjemahkan secara tekstual ( sesuai makna lahiriahnya ) akan berarti semua bid’ah adalah sesat. Benarkah kata “kullu” selalu berarti “semua” ?
Dalam Al Qur’an terdapat beberapa kata “kullu” yang kenyataannya tidak berarti “semua” . Dalam surat Al Ahqof ayat 25 , Allah berfirman : “ (angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.”
Dalam ayat di atas Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang-orang kafir tersebut terkubur di dalam Bumi. Walaupun disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan “Kulla syai’in “ ( segala sesuatu ) ternyata rumah orang-orang kafir tersebut tidak hancur. Ini membuktikan bahwa kata “Kullu” tidak selalu berarti : Semua ! dalam ayat di atas , rumah orang-orang kafir yang tidak hancur tersebut merupakan salah satu pengecualian.
Demikian pula dalam Hadist : “ Kullu bid’atin dholalatun” terdapat sesuatu yang dikecualikan. Dalam Hadist yang lain Rasulullah saw bersabda : “ Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya ( agama ), maka dia tertolak “ (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Kalimat :” Yang tidak bersumber darinya ( agama )” inilah kalimat yang menjelaskan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat ! berdasarkan Hadist di atas maka Hadist “ Kullu bid’atin dholalatun “ dapat diartikan sebagai berikut : Semua bid’ah itu sesat kecuali yang bersumber dari Al Qu’an dan Hadist”
Dalam Hadist di atas disebutkan “ Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah dholalah ( yang sesat )” Hal ini menunjukan bahwa tidak semua bid’ah sesat. Seandainya semua bid’ah sesat, tentunya Rasullullah saw. akan langsung berkata : “ Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah,” dan tidak akan menambahkan kata “Dholalah” dalam sabdanya. Dengan menyebut kalimat “ Bid’ah dholalah ( yang sesat ) “, maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah ( yang tidak sesat )
Dalam Hadist : Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah ( agama ) kami ini, yang tidak bersumber darinya ( agama ), maka ia tertolak. Kalimat “ Yang tidak bersumber darinya ( agama ), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru itu sesat. Hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang sesat.
Jadi kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an atau Hadist , maka dia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah dan diterima oleh RasulNya.
Pemahaman bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para Sahabat Nabi. Umar bin Khattab pernah mencetuskan istilah “bid’ah baik “ untuk amalan yang disusunnya, yaitu Sholat Tarawih berjamaah di Masjid selama bulan Ramadhan dengan Imam yang hafal al Qur’an.
Dari Abdurahman bin Abdul Qori, ia berkata :” Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin Khattab. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan sholat ( Tarawih ) secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang sholat sendiri ada pula yang sholat berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah Umar bin Khattab berkata : “ menurutku, andaikan semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang Imam yang hafal al Qur’an tentu akan lebih baik” beliau bertekad untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju masjid bersama Umar bin Khattab. Saat masyarakat sedang menunaikan sholat (Tarawih) berjamaah dengan imam mereka yang hafal al Qur’an ( ketika menyaksikan pemandangan tersebut ) berkatalah Umar bin Khattab :” inilah sebaik-baik bid’ah ( HR Bukhori dan Malik )
Dengan jelas , di hadapan para sahabat, Umar bin Khattab mengucapkan : “ inilah sebaik-baik bid’ah” ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Hanya bid’ah yang bertentangan dengan al Qur’an dan Hadislah yang sesat.
Jika ada orang yang berkata,” perbuatan Umar bin Khatab bukan bid’ah, bukankah Rasulullah saw. juga melakukan sholat Tarawih bersama para Sahabat ? memang benar ! tetapi Rasulullah saw. tidak melakukan selama satu bulan penuh, beliau hanya melakukannya selama dua atau tiga hari ( ada perbedaan riwayat ), karena khawatir tarawih tersebut diwajibkan kepada umatnya, Rasulullah saw kemudian menghentikannya. Di samping itu Rasulullah juga tidak membacakan Al Qur’an secara urut dari surat Al fatehah hingga khatam ( sampai surat an-Naas ). Lain halnya dengan Umar bin Khattab, beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan sholat tarawih serta memilih seorang imam yang hafal Al Qur’an untuk membacanya dari awal hingga khatam. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itulah Umar bin Khattab mengakui bahwa perbuatannya itu bid’ah , tetapi beliau paham bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Beliau pun menjelaskan bahwa bid’ah yang beliau lakukan, yang memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Hadist, adalah bid’ah yang baik. Buktinya , beliau merasa senang dengan idenya tersebut dan mengucapkan : “ inilah sebaik-baik bid’ah “
Rasulullah saw. selalu mendorong umatnya untuk melakukan semua perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya serta menghidupkan Sunah-sunah beliau. Tentunya setiap jaman memiliki cara dakwah tersendiri dan setiap masyarakat memiliki adat yang berbeda. Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk berbicara dengan manusia sesuai tingkat pemikiran dan pemahamannya.
Untuk menghidupkan Sunah Rasulullah saw. yang seringkali diabaikan oleh umat Islam inilah para ulama kemudian memunculkan berbagai gagasan dan ide cemerlang yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Gagasan tersebut mereka peroleh setelah mendalami Al Qur’an dan Hadist. Meskipun dikemas dalam model atau bentuk baru, tetapi isinya tiada lain adalah Al Qur’an dan Hadist. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab di atas. Beliau berupaya menghidupkan Sunah Rasulullah dengan menyatukan umat dalam kebaikan. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab serta para ulama lain yang mengikutinya tiada lain adalah salah satu upaya untuk mengamalkan Sabda Rasulullah saw.:
”Barang siapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam Islam, kemudian perbuatan itu diamalkan ( oleh orang lain ), maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan sebuah perbuatan buruk di dalam Islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan ( oleh orang lain ), maka dia memperoleh dosa semua orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka “ ( HR. Muslim,Tirmidzi, Nasa’I,ibnu Majah, Ahmad dan Daelami )
Oleh karena itu , jangan gegabah dan tergesa-gesa menuduh bahwa suatu hal yang tidak ada pada jaman Rasulullah saw. dan para Sahabat sebagai bid’ah sesat yang harus diperangi. Tetapi dengan kedewasaan berpikir, marilah kita kaji landasan dan dalil yang mereka gunakan dalam kegiatan tersebut. Jika memang tidak bersumber dari Al Qur’an dan Hadist, mari bersama-sama kita dakwah dengan cara bijaksana dan nasehat yang baik. Dan jika memang ada sumbernya dari al Qur’an dan Hadist, mari kita dukung bersama sebagai sarana untuk menghidupkan ajaran Al Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.
Semoga Allah SWT. membuka mata hati kita, sehingga kita tidak gegabah menuduh seseorang atau sekelompok orang sebagai ahli bid’ah dan tidak pula terlalu mudah menghukumi sebuah amalan sebagai bid’ah yang sesat, Amien !
Saya masih belum paham. Kenapa "bid'ah" yang bersumber dari al Quran dan hadits Nabi itu juga disebut bid'ah? Kalau memang bersumber dari al Quran dan hadits, menurut saya itu bukan termasuk kategori "sesuatu yang baru", apalagi bid'ah.
BalasHapus