mungkin rizqi anda :

Selamat Datang ! Selamat Membaca ! jumlah pengunjung dari negara: ...

free counters

Minggu, 21 Februari 2010

Sekilas Tentang Asal - Usul Pagenjahan


Pagenjahan : legenda dan mitosnya
Pagenjahan adalah sebuah desa kecil yang termasuk dalam wilayah kelurahan kalierang Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Desa Kalierang terbagi dalam 9 RW, desa Pagenjahan termasuk dalam wilayah RW 06 Kalierang kecamatan Bumiayu.Desa yang berpenduduk kurang lebih 400 KK ini terbagi dalam 7 ( tujuh ) Rt
Desa Pagenjahan terbagi dalam 2 ( dua ) wilayah yaitu sebagian di bagian barat masuk wilayah Kalierang dan bagian Timur masuk wilayah Kelurahan Langkap. Rata- rata penduduk desa Pagenjahan adalah petani. Sebagian penduduk memiliki kegiatan industri perumahan ( Home industri ) berupa : produksi Emping Mlinjo, tempe, dll. Pembuatan Emping Mlinjo menjadi kegiatan yang hampir merata di setiap rumah, sehingga desa Pagenjahan terkenal sebagai sentra produksi Emping Mlinjo di kecamatan Bumiayu.

Legenda dan asal - usul desa Pagenjahan Bumiayu
Alkisah Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan perjalanan dari

Mataram pada tahun 1645, tepat enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil melakukan ekspansi ke seluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan Batavia) dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I. Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur menyempit karena politik yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung. Banyak pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja dilakukan
Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan Amangkurat I terpojok sehingga ia berinisiatif untuk menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De Cock.
Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keraton dengan mengambil rute perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal , sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara berjalan kaki dengan medan yang berat dan sangat jauh.
Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai kusir kereta kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.
Bukan main senangnya hati Gusti Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan daerah tersebut dengan nama AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual didaerah tersebut “Barange aji” atau ada harganya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Dalam perjalanan, kuda penarik kereta kencananya mendadak jatuh . Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji . Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan .
Dari petunjuk yang dihasilkan dari laku tapa tersebut, Kyai Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil air yang berasal dari sebuah telaga (danau) di lereng Gunung Slamet yang dihuni oleh makhluk air jejadian jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul. Segeralah Kyai Pancurawis terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari tempat yang dimaksud. Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat yang ia tuju. Sebuah telaga di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan ribuan ikan lele sebagai penghuninya. Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng.
Kyai Pancurawis menerima petunjuk, jika air yang berasal dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke sekujur tubuh kuda penarik kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang dalam kondisi sekarat. Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur tubuh kuda itu diGUYANG ,basah terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara berangsur-angsur namun dalam waktu yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih seperti sedia kala. Atas keberhasilan usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat ini aku namakan PAGUYANGAN, dan aku yakin kalau tempat ini tidak akan kekurangan air sampai kapanpun sebagai sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”
Di tengah kegembiraan wajah Gusti Sunan, terdengar helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih berfikir tentang adanya pantangan bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk yang ia terima, jika kuda itu telah pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan adalah menginjak bambu kering. Jika pantangan itu terlanggar, maka tak ayal lagi kematian yang akan menimpa kuda tersebut.
Tibalah di suatu tempat dimana kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikutnya, secara tiba-tiba kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan Sunan Amangkurat I. Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana. Seketika kuda penarik kereta kencana mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai Pancurawis mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah sebuah bambu kuning yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya. Tampak si ular tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang perasaan seluruh rombongan, tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya. Dibuangnyalah bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka , Kyai Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu kuning yang ia buang di hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga mengeluarkan bunyi “kre..tek !”. (tempat tersebut kemudian dinamakan Desa KRETEK).
Suara angin menderu dan membahana seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.
Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama DAHA Sekarang : desa NEGARADAHA. Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.di carilah obat untuk mengembalikan kesehatan antara lain dengan mencari air kelapa GENJAH , kelapa hijau yang dipercaya mujarab menyembuhkan berbagai penyakit, di daerah yang banyak kelapanya yang sekarang dikenal dengan desa PAGENJAHAN.
Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama CANDI PANCURAWIS. Sampai dengan akhir hayatnya, konon Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Ia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.
Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.
Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya. Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya.
Sesaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi perbukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. kekagumannya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMI RAHAYU yang pada perkembangannya menjadi Kota BUMIAYU.
Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat I kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat.
Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari. Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, ia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.
Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.
Demikian sekilas info ( jere simbah !! )

Silahkan baca juga artikel di bawah ini...



Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar